Rabu, 10 September 2008

Perlukah Kita Tutup Semua Warnet di Indonesia?

PENGGEREBEKAN pemakai peranti lunak bajakan sudah memasuki tahap ketiga, tahap pertama dilakukan terhadap penjual peranti lunaknya, tahap kedua dilakukan terhadap penjual komputer, dan tahap ketiga pelanggan yang memanfaatkan perantinya untuk berbisnis. Dari ketiga tahap tersebut, yang paling sulit mencari solusinya adalah tahap ketiga, di mana pihak kepolisian bersama Business Software Alliance (BSA) melakukan penyisiran terhadap warung-warung internet (warnet) tanpa pengecualian, dimulai dari warnet di kota kecil Cilacap merambah terus ke kota-kota besar.

Manfaat warnet bagi bangsa kita sangat besar sekali, terutama untuk dunia pendidikan dan peran serta bangsa Indonesia dalam kancah kemajuan teknologi informasi dunia. Ide pembentukan warnet adalah bagaimana memasyarakatkan akses internet yang masih tergolong barang mewah karena selain tidak mampunya masyarakat memiliki komputer, biaya mengakses internet juga sangat mahal.

Tahun 1995 penulis mengalami sendiri bagaimana sulitnya mengakses internet karena pada saat itu saluran telepon masih berteknologi kuno sehingga tidak mampu mengantisipasi kecepatan akses internet yang pada saat itu masih 14.400 bps. Di akhir tahun 1995, dicoba satu prototipe warung internet, mencontoh dari Internet Café untuk negara maju dengan menggunakan teknologi akses dan penyaluran internet melalui saluran telepon biasa.

Hasilnya sangat mengejutkan, karena dimulai tahun 1998 bisnis warnet ternyata boom dan semua pihak ingin berusaha membangun warnet. Apalagi investasinya hanya dalam bilangan puluhan juta rupiah, yang memang sangat cocok untuk pengusaha kecil-menengah. Selain itu, saat itu banyak sekali profesional yang di-PHK karena krisis ekonomi yang berkelanjutan.

Visi dan misi membangun warnet yang intinya mencerdaskan bangsa menjadi kabur karena terlalu banyak pihak yang ingin mengeruk keuntungan dengan cepat atau bahkan mendapatkan proyek dari keberadaan warnet tersebut. Apalagi pada saat boom tersebut juga disertai dengan boom bisnis dot com, yang sebagian besar menjual angan-angan dan harapan.

PERJALANAN warnet sangat berat walaupun awalnya menyenangkan dan menarik perhatian semua kalangan. Namun, kemudian bisnis tiba-tiba menjadi slow down pada saat pelanggan mulai bosan terhadap chatting yang merupakan daya tarik warnet. Membanting harga karena kekurangan pelanggan mulai terjadi, dari harga jual sewa Rp 15.000 per jam melorot sampai Rp 1.000 per jam, yang dampaknya adalah kehancuran bisnis tersebut secara pelan tapi nyata.

Selain banting harga, warnet pun mencari inovasi yang tidak sehat, karena dalam beberapa kasus ada warnet yang punya spesialisasi mengakomodasi para "penjahat internet" yang bersarang di sana dengan mengacak-acak kartu kredit orang luar untuk membeli barang. Bahkan, warnet pernah dikonotasikan sebagai tempat bersarangnya teroris dan pembuat bom. Warnet juga dikenal sebagai "tempat maksiat" untuk berbuat mesum atau tidak senonoh, terutama warnet yang memang dirancang untuk hal tersebut.

Inovasi-inovasi itu akhirnya bermuara pada maraknya online game yang merupakan duplikasi negara lain, terutama Korea Selatan. Online game juga bukan tidak punya dampak negatif, seperti ketagihan yang dialami oleh siswa-siswi sekolah, sehingga mereka sampai tidak sekolah atau bolos hanya untuk bermain bersama-sama grupnya.

Dari seluruh sisi gelap warnet tersebut, kita masih punya harapan bahwasanya teknologi warnet ini merupakan satu terobosan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, kemajuan jaringan internet yang di negara lain sudah merupakan satu kebutuhan dasar untuk dapat bertahan dalam dunia yang semakin rumit ini.

KEBERADAAN warnet secara ekonomis merupakan satu solusi terhadap besarnya jumlah penganggur di negeri ini, karena satu warnet yang kecil, investasinya sekitar Rp 50 juta, mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada minimal tiga orang. Belum lagi tenaga-tenaga ahli komputer yang biasanya diminta membantu membangun sistemnya.

Dengan membangun warnet, investor sebetulnya sudah nekat dan berpikiran lumayan jauh ke depan karena dengan investasi yang lebih kecil dibandingkan dengan membangun warung telekomunikasi (wartel), pengembalian investasinya lebih cepat. Di samping itu, tidak dibutuhkan tenaga-tenaga yang punya keahlian dalam menjalankan bisnisnya.

Keadaan awal yang penuh dengan kegembiraan dan hura-hura harus ditutup dengan sad ending yang sangat menyedihkan, dimulai dengan penggerebekan terhadap warnet yang menyalahi Undang-Undang Hak Cipta di Cilacap, bermuara menjadi kuburan warnet di tempat-tempat yang tadinya merupakan sentral warnet.

Kuburan warnet terjadi karena tidak ada solusi bisnis yang secara langsung hanya bergantung pada teknologi yang dimiliki oleh Microsoft. Penggunaan peranti lunak Microsoft Windows di warnet merupakan satu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, terutama untuk warnet yang berorientasi pada online game dan memang saat ini server yang dimiliki oleh online game semuanya bersistem Microsoft Windows.

Kerasnya pihak kepolisian menyikapi hal ini sebetulnya tidak bisa disalahkan dan memang kepolisian Indonesia sudah membuat yang terbaik bagi konvensi dunia terhadap hak cipta. Akan tetapi, masalahnya, tahapan-tahapan yang penulis sampaikan di awal tulisan ini terasa janggal.

Warnet merupakan produk akhir pendistribusian peranti lunak, kalau kita perhatikan seolah-olah legal di negara ini, karena dijual di mal-mal yang terbuka, dengan toko yang besar dan bahkan sampai ke pinggir jalan-jalan tertentu.

Kenapa penggerebekan ini seolah-olah dibikin seperti serial sinetron dan tidak mempunyai konsistensi yang terus-menerus. Selain itu, kelihatan terjadinya ketidaksetaraan terhadap hukum-yang kuat dapat tetap berbisnis seperti biasanya.

Bukan rahasia umum bahwasanya gerakan kepolisian Indonesia ini merupakan bagian dari program vendor peranti lunak, di mana jika mereka menyediakan dana untuk satu operasi, pihak kepolisian langsung bergerak dan menyisir semua yang ada.

Sangat janggal kalau melihat keadaan di mana warnet-warnet tutup karena takut digerebek oleh polisi dengan dalih melanggar hak cipta, sementara di tempat yang jaraknya hanya beberapa meter, toko komputer atau toko peranti lunak memajang peranti lunak bajakan secara mencolok dan terbuka.

Penyelesaian yang sepotong-sepotong ini akan berdampak negatif terhadap industri teknologi informasi tersebut, yang secara de facto sudah disepakati sebagai satu cara untuk meningkatkan kemajuan satu bangsa.

Dan mudah-mudahan, Presiden Republik Indonesia mau meluangkan waktunya untuk memikirkan penyelesaian masalah ini karena semua kebijakan ini akhirnya harus diambil Presiden RI. Tanpa interaksi Presiden RI, keadaan kacau-balau seperti ini tidak akan selesai dan Indonesia akan semakin tertinggal dalam kancah kemajuan dunia.

Michael S Sunggiardi Managing Director PT BoNet Utama Bo